MAKALAH
ISBD
(GENDER)
Instruktur: Drs. Riyoko,M.si
Disusun Oleh:
Nama :
Yuni Antari akmali
Kelas :
1b
Nim : 13.0.A.694
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah saya
panjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telah memberikan banyak nikmatnya kepada
kami. Sehingga saya mampu menyelesaikan Makalah Tentang Gender. Makalah ini
saya buat dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Ilmu Sosial
Budaya Dasar.
Penyusunan makalah ini tidak berniat
untuk mengubah materi yang sudah tersusun. kami sebagai penyusun pastinya tidak
pernah lepas dari kesalahan. Begitu pula dalam penyusunan makalah ini, yang
mempunyai banyak kekurangan. Oleh karena itu, Saya mohon maaf atas segala
kekurangannya.
Kra. 19.Desember.2013
YuniAntari Akmalia
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para
pendiri negeri ini, sungguh sangat arif dalam menyusun UUD 1945 menghargai
peranan wanita pada masa silam dan mengantisipasi pada masa yang akan datang,
dengan tidak ada satu kata pun yang bersifat diskriminatif terhadap wanita.
Konstitusi ini dengan tegas menyatakan persamaan hak dan kewajiban bagi setiap
warga Negara (baik pria maupun wanita). Di dalam GBHN 1993 di antaranya juga
diamanatkan, bahwa wanita mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan pria
dalam pembangunan. Selain itu, pengambil keputusan juga telah meratifikasi
(mengesahkan) konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita
dalam UU No. 7 Tahun 1984.
Namun,
kenyataan menunjukkan bahwa wanita mengalami ketertinggalan atau
ketidakberuntungan lebih banyak dibandingkan dengan pria di antaranya di bidang
pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, penguasaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Oleh
karena itu, peningkatan peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender
sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, mempunyai arti penting dalam
upaya untuk mewujudkan kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita
atau mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan
dan pembangunan. Kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanitaadalah
suatu kondisi hubungan kedudukan dan peranan yang dinamis antara pria dengan
Wanita. Pria dan wanita mempunyai persamaan kedudukan, hak, kewajiban dan
kesempatan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
maupun dalam kegiatan pembangunan di segala bidang (Kantor Menteri Negara
Peranan Wanita, 1998).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan
diatas maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Bagaimanakah status dan peran
wanita?
2. Bagaimanakah konsep Gender, peran
kodrati, dan peran wanita dalam pembangunan?
C. Tujuan
Tujuan dari isi makalah untuk:
1. Untuk mengetahui konsep gender,
peran kodrati dan peran wanita dalam pembangunan.
BAB II
PEMBAHASAN
GENDER
Dalam
hal persamaan kedudukan, baik pria maupun wanita sama-sama berkedudukan sebagai
subjek atau pelaku pembangunan. Dalam kedudukan sebagai subjek pembangunan,
pria dan wanita mempunyai peranan yang sama dalam merencanakan, melaksanakan,
memantau dan menikmati hasil pembangunan. Hak yang sama di bidang pendidikan
misalnya, anak pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk dapat mengikuti
pendidikan sampai ke jenjang pendidikan formal tertentu.
Tentu
tidaklah adil jika dalam era global ini menomorduakan pendidikan bagi wanita,
apalagi jika anak wanita mempunyai kecerdasan atau kemampuan. Selanjutnya,
kewajiban yang sama umpamanya seorang istri samasama berkewajiban untuk mencari
nafkah dengan suaminya dalam upaya memenuhi beragam kebutuhan rumah tangga.
Mencari nafkah tidak lagi hanya menjadi kewajiban suami (pria), begitu juga
kewajiban melakukan pekerjaan urusan rumah tangga tidak semata-mata menjadi
tugas istri (wanita). Akhirnya berkaitan dengan persamaan kesempatan dapat
diambil contoh, apabila ada dua orang Pegawai Negeri Sipil Pemerintah Provinsi,
yakni seorang pria dan seorang wanita yang sama-sama memenuhi syarat dan
mempunyai kemampuan yang sama, keduanya mempunyai kesempatan yang sama untuk
mengisi lowongan sebagai Kepala Biro. Wanita tidak dapat dinomorduakan
semata-mata karena dia seorang wanita. Pandangan bahwa pemimpin itu harus
seorang pria merupakan pandangan yang keliru dan perlu ditinggalkan.
A. Status dan Peranan Wanita
Dari
uraian tersebut dengan jelas dapat ditangkap, bahwa menurut kondisi normatif,
pria dan wanita mempunyai status atau kedudukan dan peranan (hak dan kewajiban)
yang sama, akan tetapi menurut kondisi objektif, wanita mengalami
ketertinggalan yang lebih besar dari pada pria dalam berbagai bidang kehidupan
dan pembangunan. Kondisi objektif ini tidak lain disebabkan oleh norma sosial
dan nilai sosial budaya yang masih berlaku di masyarakat. Norma sosial dan
nilai sosial budaya tersebut, di antaranya di satu pihak, menciptakan status
dan peranan wanita di sektor domestik yakni berstatus sebagai ibu rumah tangga
dan melaksanakan pekerjaan urusan rumah tangga, sedangkan di lain pihak,
menciptakan status dan peranan pria di sektor publik yakni sebagai kepala
keluarga atau rumah tangga dan pencari nafkah. Dikemukakan oleh White dan
Hastuti (1980), dalam sistem kekerabatan patrilineal, ada adat dalam perkawinan
(pernikahan) yang biasanya wanita (istri) mengikuti pria (suami) atau tinggal
di pihak kerabat suami, merupakan salah satu faktor yang secara relatif
cendrung mempengaruhi status dan peranan wanita, yakni status dan peranan
wanita menjadi lebih rendah dari pada pria.
Selain
itu, wanita tidak bisa menjadi pemilik tanah dan kekayaan yang lain melalui hak
waris, sehingga status dan peranan wanita menjadi lebih lemah dari pada pria.
Hal itu juga menyebabkan sumber daya pribadi (khususnya yang menyangkut tanah,
uang atau material) yang dapat disumbangkan oleh wanita ke dalam perkawinan
atau rumah tangga mereka menjadi sangat terbatas. Akibatnya, status dan peranan
wanita menjadi lebih lemah dibandingkan dengan pria.
Menurut
Blood dan Walfe (1960) sumber daya pribadi bisa berupa: pendidikan,
keterampilan, uang atau material, tanah dan lain-lain. Akibat masih
berlakunya berbagai norma sosial dan nilai sosial budaya tersebut di
masyarakat, maka akses wanita terhadap sumber daya di bidang politik, ekonomi,
sosial budaya, pertahanan dan keamanan menjadi terbatas. Untuk memperkecil
keadaan yang merugikan wanita itu, perlu pemahaman dan penghayatan yang baik
tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, tidak hanya
oleh wanita sendiri tetapi juga oleh pria atau seluruh lapisan masyarakat.
B. Konsep Gender
Untuk
dapat memahami tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender,
terlebih dahulu perlu dibahas tentang konsep gender, agar kita berangkat dari
pengertian yang sama. Pembahasan mengenai gender, tidak terlepas dari seks dan
kodrat. Seks, kodrat dan gender mempunyai kaitan yang erat, tetapi mempunyai
pengertian yang berbeda. Dalam kaitannya dengan peranan pria dan wanita di
masyarakat, pengertian dari ketiga konsep itu sering disalahartikan. Untuk
menghindari hal itu dan untuk mempertajam pemahaman kita tentang konsep gender,
maka pengertian seks dan kodrat perlu dijelaskan terlebih dahulu. Istilah seks
dapat diartikan kelamin secara biologis, yakni alat kelamin pria (penis) dan
alat kelamin wanita (vagina). Sejak lahir sampai meninggal dunia, pria akan
tetap berjenis kelamin pria dan wanita akan tetap berjenis kelamin wanita
(kecuali dioperasi untuk berganti jenis kelamin). Jenis kelamin itu tidak dapat
ditukarkan antara pria dengan wanita.
Kodrat
adalah sifat bawaan biologis sebagai anugerah Tuhan Yang Mahaesa, yang tidak
dapat berubah sepanjang masa dan tidak dapat ditukarkan yang melekat pada pria
dan wanita. Konsekuensi dari anugerah itu, manusia yang berjenis kelamin
wanita, diberikan peran kodrati yang berbeda dengan manusia yang berjenis
kelamin pria. Wanita diberikan peran kodrati: (1)menstruasi, (2) mengandung,
(3)melahirkan, (4) menyusui dengan air susu ibu dan (5) menopause, dikenal
dengan sebutan lima M. Sedangkan pria diberikan peran kodrati membuahi sel
telur wanita dikenal dengan sebutan satu M. Jadi, peran kodrati wanita dengan
pria berkaitan erat dengan jenis kelamin dalam artian ini (Arjani, 2002 dan
Agung Aryani, 2002).
Gender
berasal dari kata “gender” (bahasa Inggris) yang diartikan sebagai jenis
kelamin. Namun jenis kelamin di sini bukan seks secara biologis, melainkan
sosial budaya dan psikologis. Pada prinsipnya konsep gender memfokuskan
perbedaan peranan antara pria dengan wanita, yang dibentuk oleh masyarakat
sesuai dengan norma sosial dan nilai sosial budaya masyarakat yang
bersangkutan. Peran gender adalah peran sosial yang tidak ditentukan oleh
perbedaan kelamin seperti halnya peran kodrati. Oleh karena itu, pembagian
peranan antara pria dengan wanita dapat berbeda di antara satu masyarakat
dengan masyarakat yang lainnya sesuai dengan lingkungan. Peran gender juga
dapat berubah dari masa ke masa, karena pengaruh kemajuan : pendidikan,
teknologi, ekonomi, dan lain-lain. Hal itu berarti, peran jender dapat
ditukarkan antara pria dengan wanita (Agung Aryani, 2002 dan Tim Pusat Studi
Wanita Universitas Udayana, 2003).
Contoh
peran gender berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain sebagai
berikut. (1). Masyarakat Bali menganut system kekerabatan patrilineal, berarti
hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) lebih penting atau diutamakan dari
pada hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu). (2). Masyarakat Sumatera
Barat menganut sistem kekerabatan matrilineal, berarti hubungan keluarga dengan
garis wanita (ibu) lebih penting dari pada hubungan keluarga dengan garis pria
(ayah). (3). Masyarakat Jawa menganut sistem kekerabatan parental/ bilateral,
berarti hubungan keluarga dengan garis pria (ayah) sama pentingnya dengan
hubungan keluarga dengan garis wanita (ibu). Jadi status dan peran pria dan
wanita berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain, yang
disebabkan oleh perbedaan norma sosial dan nilai sosial budaya.
Contoh
peran gender berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan jaman
sebagai berikut. Pada masa lalu, menyetir mobil hanya dianggap pantas dilakukan
oleh pria, tetapi sekarang wanita menyetir mobil sudah dianggap hal yang biasa.
Contoh lain, pada masa silam, jika wanita ke luar rumah sendiri (tanpa ada yang
menemani) apalagi pada waktu malam hari, dianggap tidak pantas, tetapi sekarang
sudah dianggap hal yang biasa. Contoh peran gender yang dapat ditukarkan antara
pria dengan wanita sebagai berikut. Mengasuh anak, mencuci pakaian dan
lain-lain, yang biasanya dilakukan oleh wanita (ibu) dapat digantikan oleh pria
(ayah). Contoh lain, mencangkul, menyembelih ayam dan lain-lain yang biasa
dilakukan oleh pria (ayah) dapat digantikan oleh wanita (ibu). Dikemukakan oleh
Bemmelen (2002), beberapa ciri gender yang dilekatkan oleh masyarakat pada pria
dan wanita sebagai berikut. Perempuan memiliki ciri-ciri: lemah, halus atau
lembut, emosional dan lain- lain. sedangkan pria memiliki ciriciri: kuat,
kasar, rasional dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya ada wanita yang kuat,
kasar dan rasional, sebaliknya ada pula pria yang lemah, lembut dan emosional.
Beberapa status dan peran yang dicap cocok atau pantas oleh masyarakat untuk
pria dan wanita sebagai berikut.
Perempuan:
1. Ibu rumah tangga.
2. bukan pewaris.
3. tenaga kerja domestic (urusan rumah
tangga).
4. pramugari.
5. panen padi.
Pria:
1. Kepala keluarga/ rumah tangga.
2. Pewaris.
3. Tenaga kerja public (pencari
nafkah).
4. Pilot.
5. Pencangkul lahan.
Dalam
kenyataannya, ada pria yang mengambil pekerjaan urusan rumah tangga, dan ada
pula wanita sebagai pencari nafkah utama dalam rumah tangga mereka, sebagai
pilot, pencangkul lahan dan lain-lain.
Dengan
kata-kata lain, peran gender tidak statis, tetapi dinamis (dapat berubah atau
diubah, sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi).
Berkaitan dengan gender, dikenal ada
tiga jenis peran gender sebagai berikut.
1. Peran produktif adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang, menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk dikonsumsi maupun untuk diperdagangkan. Peran ini sering pula
disebut dengan peran di sektor publik.
2. Peran reproduktif adalah peran yang
dijalankan oleh seseorang untuk kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan
sumber daya manusia dan pekerjaan urusan rumah tangga, seperti mengasuh anak,
memasak, mencuci pakaian dan alat-alat rumah tangga, menyetrika, membersihkan
rumah, dan lainlain. Peran reproduktif ini disebut juga peran di sector
domestik.
3. Peran sosial adalah peran yang
dilaksanakan oleh seseorang untuk berpartisipasi di dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan, seperti gotong-royong dalam menyelesaikan beragam pekerjaan
yang menyangkut kepentingan bersama. (Kantor Menteri Negara Peranan Wanita,
1998 dan Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana, 2003). Berdasarkan uraian
di atas, dapat disimpulkan bahwa peran kodrati bersifat statis, sedangkan peran
gender bersifat dinamis. Hal ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
C. Peran Kodrati
Setelah
kita mempunyai pemahaman yang sama tentang konsep gender, berikut ini akan
dibahas peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender. Peranan wanita
dalam pembangunan adalah hak dan kewajiban yang dijalankan oleh wanita pada
status atau kedudukan tertentu dalam pembangunan, baik pembangunan di bidang
politik, ekonomi, sosial budaya maupun pembangunan di bidang pertahanan dan
keamanan, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Peranan wanita
dalam pembangunan yang berwawasan gender, berarti peranan wanita dalam
pembangunan
Wanita:
1. Menstruasi
2. Mengandung
3. Melahirkan
4. Menyusui dengan air susu ibu
5. Menopause
Pria:
1. Membuahi sel telur wanita
Peran Gender
1. Mencari nafkah.
2. Memasak.
3. Mengasuh anak.
4. Mencuci pakaian dan alat-alat rumah
tangga
5. Tolong-menolong antar tetangga dan
gotong-royong dalam menyelesaikan pekerjaan milik bersama.
6. Dan lain-lain.
D. Peranan Wanita dalam Pembangunan
Sesuai
dengan konsep gender atau peran gender sebagaimana telah dibahas di depan,
mencakup peran produktif, peran reproduktif dan peran sosial yang sifatnya
dinamis. Dinamis dalam arti, dapat berubah atau diubah sesuai dengan
perkembangan keadaan, dapat ditukarkan antara pria dengan wanita dan bisa
berbeda lintas budaya.
Mengupayakan
peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan atau perperspektif gender,
dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender atau
kemitrasejajaran yang harmonis antara pria dengan wanita di dalam pembangunan.
Karena, dalam proses pembangunan kenyataannya wanita sebagai sumber daya insani
masih mendapat perbedaan perlakuan (diskriminasi). Terutama, jika wanita
bergerak di sektor publik dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada pula
ketimpangan gender yang dialami oleh pria. Untuk mewujudkan kemitrasejajaran
yang harmonis antara pria dengan wanita tersebut, perlu didukung oleh perilaku
saling menghargai atau saling menghormati, saling membutuhkan, saling membantu,
saling peduli dan saling pengertian antara pria dengan wanita.
Dengan
demikian, tidak ada pihak pihak (pria atau wanita) yang merasa dirugikan dan
pembangunan akan menjadi lebih sukses. Usaha-usaha untuk mencapai kesetaraan
dan keadilan gender sesungguhnya sudah lama dilakukan oleh berbagai pihak,
namun masih mengalami hambatan. Kesetaraan dan keadilan gender masih sulit
untuk dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat khususnya kaum wanita.
Oleh
karena itu pemerintah telah mengambil kebijakan, tentang perlu adanya strategi
yang tepat yang dapat menjangkau ke seluruh instansi pemerintah, swasta,
masyarakat kota, masyarakat desa dan sebagainya.
Strategi
itu dikenal dengan istilah pengarusutamaan gender, berasal dari bahasa Inggris
gender mainstreaming. Strategi ini tertuang di dalam Instruksi Presiden
(Inpres) No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional.
Dengan
pengrusutamaan gender itu, pemerintah dapat bekerja secara lebih efisien dan
efektif dalam memproduksi kebijakan-kebijakan publik yang adil dan responsif
gender kepada seluruh lapisan masyarakat, baik pria maupun wanita. Dengan
strategi itu juga, program pembangunan yang akan dilaksanakan akan menjadi
lebih sensitif atau responsif gender. Hal ini pada gilirannya akan mampu
menegakkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pria dan wanita atas kesempatan yang
sama, pengakuan yang sama dan penghargaan yang sama di masyarakat.
Secara
operasional, pengarusutamaan gender dapat diartikan sebagai suatu upaya yang
dibangun untuk mengintegrasikan kebijakan gender dalam program pembangunan
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan (monitoring) dan evaluasi.
Pengarusutamaan gender, bertujuan untuk terselenggaranya perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan
nasional yang berperspektif gender (Tim Pusat Studi Wanita Universitas Udayana,
2003).
Pengarusutamaan
gender barulah akan memberikan hasil secara lebih memuaskan, jika dilaksanakan
oleh seluruh kalangan masyarakat, mulai dari yang tergabung dalam lembaga
pemerintah, swasta seperti organisasi profesi, organisasi sosial, organisasi
politik, organisasi keagamaan dan lain-lain sampai pada unit yang terkecil
yaitu keluarga. Dalam pembangunan di bidang kesehatan misalnya, kalau
perencanaannya, elaksanaannya atau pelayanannya, pemantauannya dan evaluasinya
sudah berwawasan gender, maka dapat dipastikan bahwa kesehatan yang baik dapat
dinikmati oleh baik laki-laki maupun perempuan. Begitu juga pembangunan di
bidang-bidang yang lainnya. Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ruang
lingkup pengarusutamaan gender meliputi empat hal, yakni perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. Dalam pelaksanaannya, masing-masing hal
itu harus mempertimbangkan empat aspek, yaitu peran, akses, manfaat dan
kontrol. Artinya, apakah dalam keempat hal tersebut sudah mempertimbangkan
bahwa peran pria dan wanita sudah setara dan adil.
Apakah
akses yang diterima oleh pria dan wanita juga akan setara dan adil. Apakah
manfaat yang langsung dirasakan oleh pria dan wanita sudah setara dan adil.
Akhirnya, apakah pria dan wanita mempunyai kesempatan yang sama dalam melakukan
control dan pengambilan keputusan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demikianlah
secara garis besar tentang peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan
gender. Hal ini sangat penting dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat, agar
mereka tidak melihat pria dan wanita dari kaca mata biologis (peran kodrati)
saja.
Masyarakat
juga harus melihat pria dan wanita sebagai warga negara dan sumber daya insani
yang sama-sama mempunyai hak, kewajiban, kedudukan dan kesempatan dalam proses
pembangunan, baik dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Mengupayakan
peranan wanita dalam pembangunan yang berwawasan gender, dimaksudkan untuk
mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di dalam berbagai bidang kehidupan
dan pembangunan. Hal ini perlu didukung oleh perilaku saling menghargai atau
menghormati, saling membantu, saling pengertian, saling peduli dan saling
membutuhkan antara pria dengan wanita. Pengarusutamaan gender merupakan
strategi yang tepat untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan keadilan
gender tersebut.
Saran
Seharusnya diskriminasi tidak tejadi
lagi karena perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki didalam bekerja,
dan hal tersebut dapat merugikan sebelah pihak yaitu kaum perempuan. Dan
pemerintah seharusnya dapat melindungi kaum perempuan karena diskriminasi
gender bukan hanya perbedaan dalam segi pekerjaan maupun upah tetapi juga kekerasan
dalam rumah tangga.
DAFTAR PUSTAKA
Agung
Aryani, I Gusti Ayu. 2002. Mengenal Konsep Gender (Permasalahan dan
Implementasinya dalam Pendidikan).
Arjani,
Ni Luh. 2002. Gender dan Permasalahannya. Pusat Studi Wanita Universitas
Udayana. Denpasar.
Bammelan,
Sita Van. 2002. Isu Gender di Bidang Pendidikan. Semiloka
pengarusutamaan Gender Bagi Para Perencana di Lingkungan Pendidikan
Nasional Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Blood,
R O. Jr. and Wolfe, D.M. 1960. Husban and Wives. The Dynamics of Married
Living. The Free Press, New York..
Kantor
Menteri Negara Peranan Wanita. 1998. Gender dan Permasalahannya. Modul
Pelatihan Analisis Gender. Kantor Menteri Negara Peranan Wanita. Jakarta.